Langsung ke konten utama

ETOS KERJA ISLAMI - InsyaaLloh ...

Etos Kerja atau Semangat Berkarya adalah kodrat hidup manusia, baik kehidupan fisik, finansial, sosial, intelektual, maupun spiritual, emosional dan aestetikal (Holistic Person Paradigm – Manusia ditinjau dari 7 (tujuh) dimensi menyeluruh dalam dirinya, (dalam Faiz , 1995)) dalam berbagai peran kehidupan. Hal ini selaras dengan Al Quran Surah Al Mulk ayat 2 yang artinya:“Yang menciptakan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu siapakah yang lebih baik diantara kamu amalnya ? Dan Dia Maha Perkasa Lagi Maha Pengampun”.

Seseorang layak mendapatkan predikat professional semata-mata karena bagaimana hasil eksekusi kerjanya. Oleh sebab itu, agar manusia dapat mewujudkan secara “penuh” keberadaan dirinya maka ia perlu memahami apa dan siapakah ia ? Untuk apa dia dilahirkan di dunia ini dan mau kemana setelah semuanya ini berakhir ? Inilah yang dinamakan ‘ruh’ atau ‘spirit’ atau ‘etos’ itu sendiri. Manusia harus mampu menemukan jawaban yang benar dari semua pertanyaan tersebut.

Dengan alasan inilah, Alloh SWT. Menurunkan Al-Quran sebagai “Ruhan min amrina”, yakni etos hidup atau spirit ciptaan Alloh SWT, sekaligus sebagai “Cahaya” yang tak pernah mati, agar kehidupan manusia tidak tersesat. Hal ini selaras dengan QS Asy Syuuraa ayat 52 yang artinya : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Engkau (sebelumnya) tidak mengerti apa Kitab dan apa iman, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang dengannya Kami memberi petunjuk orang-orang yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya Engkau menunjuki kepada jalan yang lurus … ”.

Hasil kerja yang dicintai Alloh SWT adalah yang berkualitas. Artinya sesuatu yang dihasilkan itu tidak hanya sekedar baik dan bagus, namun juga harus tidak menimbulkan dampak negatif untuk lingkungannya. Di dalam Al Qur’an dikenal 4 (empat) istilah mengenai hasil kerja yang berkualitas ini, yaitu “Amal Sholeh” (kurang lebih disebutkan 77 kali) ; Amal yang “Ihsan”, (kurang lebih disebutkan 20 kali) ; ‘amal yang “Itqan” (kurang lebih disebut 1 kali) ; dan amal ”al-Birr” (kurang lebih disebut 6 kali). Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran.

Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang tidak berkualitas alias buruk dengan akibatnya yang buruk pula. Dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (QS. Al-Maidah Ayat 90, QS. Al-Qashash Ayat 15), perbuatan yang sia-sia (QS. Ali Imran Ayat 22, QS. Al-Furqaan Ayat 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (QS. At-Taubah ayat 102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (QS. An-Naml ayat 4 dan QS. Fusshilat ayat 25).

Al-Qur’an sebagai Pedoman Kerja Kebaikan, Kerja Ibadah, Kerja Taqwa atau Amal Sholeh, melihat kerja sebagai Kodrat Hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (QS. Adz-Dzariat ayat 56). Maka Kerja dengan sendirinya, tidak lain adalah Ibadah, dan Ibadah hanya dapat direalisasikan dengan Kerja dalam segala bentuk perwujudannya (QS. Al-Hajj, ayat : 77 s/d 78, dan QS. Al-Baqarah, ayat :177).

Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya adalah juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing.

Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terwujudnya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap utama. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas dan kompetensi masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.

Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu (1). Ikhlas, dan (2). Benar (shawab). Penjelasannya: Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai dorongan yang benar untuk bertindak, yaitu berbuat sesuatu yang baik, berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Tujuan akhirnya adalah meraih ‘mardhatillah’ (QS. Al-Baqarah ayat 207 & 265). Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya dan seluruhnya adalah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui contoh dan suritauladan Rasulullah SAW untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan-pesan yang telah disebutkan dengan jelas didalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran ayat 31 dan QS Al Hasyr ayat 10).

Ketika manusia memilih pekerjaan, tentu wajib didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal sholeh) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa sedikitpun mendiskriminasikannya (apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar), yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Alloh SWT. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya sekaligus sedapat dapatnya tidak berdampak negatif. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.

Bagaimana cara kita dapat mengaudit dengan mudah hasil kerja kita sehari-hari. Maka ada 3 (tiga) indikator yang bisa kita gunakan untuk mengukurnya, yaitu : Pertama - Apakah hari ini, dengan apapun yang telah saya lakukan dapat semakin meningkatkan kecintaan diri saya terhadap Alloh SWT ? Kedua – Apakah hari ini dengan apapun yang telah saya lakukan dapat memberikan manfaat untuk sebanyak mungkin orang ataupun lingkungan ? dan Ketiga – Apakah hari ini, dengan apapun yang telah saya lakukan dapat meningkatkan perbaikan secara terus menerus pada diri saya dengan semangat ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin ?’ dan kalau hari ini sama dengan kemarin adalah merugi, apalagi lebih buruk dari hari kemarin. Akhir kata, selamat berjuang, selamat berusaha. Semoga Alloh SWT selalu melindungi dan memilih kita untuk termasuk golongan orang orang yang selalu diberi petunjuk. Amien Ya Robbal A’lamin.

Sentul City, Jum’at, 16 Januari 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lima Kunci Dibalik KeberhasilanSEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)

Lima Kunci Dibalik KeberhasilanSEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) · Yakin · Khusyu’ · Ikhlas · Pasrah · Syukur YAKIN Kita, baik di posisi sebagai TERAPIST ataupun KLIEN tidak perlu yakin sama SEFT atau diri kita sendiri,namun MUTLAK, KITA perlu yakin pada MAHA KUASANYA TUHAN dan MAHA SAYANGNYA TUHAN pada kita yang namanya MANUSIA ini. Jadi, SEFT tetap efektif walaupun klien maupun SEFTer, masih SKEPTIS, RAGU, TIDAK PD, MALU JIKA GAGAL, dsbnya. Asalkan KLIEN dan SEFTer masih YAKIN sama ALLAH SWT, SEFT tetap EFEKTIF. Anehnya, semakin Anda percaya diri,semakin tidak bagus hasilnya, semakin Anda tidak PD, anda jadi semakin PA (Percaya Alloh) atau PT (Percaya Tuhan) dan hasilnya semakin menakjubkan. INGAT, ketika Anda PD, berarti “EGO” Anda naik, dan apa yang di maksud EGO ? EGO = Edging God Out = Menyingkirkan Tuhan Keluar. Maksudnya, semakin EGO SESEORANG naik, maka semakin Tuhan menyingkir dari kehidupan kit

Wong Pinter Ono Gurune, Wong Bejo Ora Ono Gurune - KH Agus Ali Masyhuri - Tulangan Sidoarjo

“Wong pinter ono gurune, Wong Bejo ora ono gurune” Oleh KH. Agus Ali Mashyuri – Sidoarjo Supoyo pinter lan bejo moko Dadi wong bejo – Akale diisi ilmu, atine diisi dzikir marang Gusti Alloh SWT. Perpaduan antara kemampuan berfikir dan berdzikir akan membentuk kesadaran beragama, beramal dan beribadah. Qs. Ali Imran : 191 – Ayat ini termasuk salah satu surah yang sering dibaca Rosululloh SAW di sholat sunnnah beliau. Orang yang CERDAS adalah orang yang rendah hati dan beramal untuk hidup bekal hidup sesudah mati. Tafakkur itu seperti cermin yang dapat menunjukkan kebaikan dan kejelekan diri. Dengan cermin tersebut kita dapat melihat kebesaran dan keagungan Alloh SWT. Tiada ilmu yang lebih baik daripada hasil tafakkur. BERTAFAKKUR sejenak lebih baik daripada beribadah selama 1 tahun.